Kisruh sepakbola di tanah air bukan 
hanya persoalan olahraga. Kepentingan ekonomi para pelaku sepakbola juga
 mewarnainya. Jika yang dimaksud adalah klub professional dan pemain 
sepakbola yang memiliki kepentingan, itu sah-sah saja. Sepakbola di 
banyak belahan dunia adalah industri dan ekonomi. Di Italia, Inggris dan
 Eropa Barat dan juga di Amerika Latin, sepakbola adalah ekonomi. Di 
beberapa Negara sepakbola dicampuradukkan dengan politik. Barcelona 
selalu disamakan dengan Basque dan Katalan. Juga di Kolombia sepakbola 
menjadi bagian dari perseteruan kartel obat bius sekaligus nasionalisme.
 Kasus Pablo Escobar yang ditembak mati selepas dia melakukan gol bunuh 
diri di Piala Dunia 1994 adalah contoh nyata sepakbola mampu menarik dan
 memicu berbagai kepentingan dari penjudi, pengedar obat bius sampai 
politikus.
Di Indonesia paling kurang tiga 
kepentingan bermain (1) partai politik dan penguasa korup yang 
memanfaatkan dana APBD untuk kampanye dan pencitraan kepala daerah, (2) 
pelaku sepakbola dalam hal ini pengurus yang menggantungkan hidup dari 
sepakbola, (3) mafia judi yang memanfaatkan pemain yang lemah untuk 
kepentingan bandar judi sepakbola.
Pertarungan kepentingan itu mewarnai 
sepakbola Indonesia. Hasilnya bisa diduga. Prestasi Timnas jeblog. Lalau
 siapa yang diuntungkan? Mari kita telaah.
Kisruh PSSI tak lepas dari ketiga 
pertarungan kepentinngan tersebut. Tak ada yang salah memang jika para 
penguasa dan partai politik ingin mengembangkan sepakbola. Namun yang 
menjadi masalah jika keinginan itu bertujuan memanfaatkan dana APBD dan 
politik pencitraan. Dana APBD digelontorkan untuk sepakbola. Partai 
penguasa daerah yang menjadi ketua umum sepakbola daerah yang juga 
kepala daerah dengan seenaknya memanfaatkan dana tersebut untuk kampanye
 dan pencitraan. Padahal uang perputaran roda sepakbola dari pajak 
rakyat. Skor: Pengurus PSSI Korup 1 - 0 Rakyat.
Lalu lahirlah KPSI dan muncul dualisme 
kompetisi ISL dan IPL. Timnas kedodoran menghadapi berbagai pertandingan
 internasional akiibat boikot oleh klub-klub anggota ISL. Akibatnya 
tidak semua pemain potensial bisa masuk membela tim merah putih. 
Indonesia dipermalukan Bahrain 10-0 pada kompetisi resmi.  Lalu 
Indonesia mengalami kekalahan melawan Brunei Darussalam.  Peringkat FIFA
 Indonesia tercatat paling rendah dalam sejarah. Pengurus yang berseteru
 PSSI dan KPSI tertawa dan tidak peduli dengan prestasi. Skor: Pengurus 
PSSI dan KPSI 1 - 0 Prestasi Timnas Indonesia.
Dualisme ISL dan IPL menjadi senjata 
perusak. Penyebabnya tiga hal sudah jelas. Rakyat dan pecinta sepakbola 
disuguhi ketolololan demi ketololan oleh para petinggi PSSI. 
Keterlibatan keluarga Bakrie dan Golkar dalam kisruh PSSI yang dimotori 
oleh Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie serta dilanjutkan dalam perjuangan 
untuk menuju kehancuran bersama oleh La Nyalla Mattalitti. Cara keluarga
 Bakrie membeli Visse dan klub lain di Australia tidak serta merta bisa 
dijadikan petunjuk akan kepedulian mereka. Alasan paling utama adalah 
dengan mesin pengurus Sepakbola dan pejabat di daerah Aburizal Bakrie 
menyekenariokan bahwa rakyat pecinta sepakbola akan mendukung dirinya. 
Ini demi kekuasaan Golkar dan Aburizal Bakrie untuk menjadi Presiden. 
Menjadi Raja. Skor: Bakrie 1 - 0 Pecinta sepakbola.
Kisruh yang diciptakan dan kekeukeuhan 
La Nyalla Mattalitti yang membabi buta juga untuk kepentingan 
pribadinya. Kemenangan Golkar dan Bakrie diyakini oleh La Nyalla sebagai
 peluang untuk mendapatkan jabatan Menpora. Makanya sekarang biar 
dihujat sampai berdarah-darah, yang terngiang adalah hadiah di masa 
depan ketika Bakrie berkuasa. Makanya dalam berbagai kesempatan, La 
Nyalla tidak menunjukkan sedikitpun niat untuk berekonsialisasi.
Bagi La Nyalla lebih baik melihat PSSI 
di-banned dan suspended oleh FIFA dan prestasi jeblog daripada memberi 
kesempatan kepada Djohar Arifin dan PSSI berbenah. Taktik dan strategi 
dengan memberi kesempatan dulu, jika DAH gagal baru dijatuhkan pun tidak
 digunakan. Dalam politik seharusnya ada kesabaran. Namun rupanya La 
Nyalla seperti Nurdin Halid yang koruptor dan AB yang politikus ngawur, 
juga tertular oleh sikap dua mentor tersebut. Skor: La Nyalla 1 - 0 
PSSI.
Dalam perseteruan ini, para pemain 
paling banyak dirugikan. Tidak ada untungnya menasionalisasikan para 
pemain seperti Greg, Lilipaly, dst dan juga para pemain naturalisasi 
yang bermain di ISL. Mereka yang telah mengorbankan kewarganegaraannya 
baik dari Belanda, Italia, Jerman, Nigeria, Uruguay dan seterusnya tidak
 mendapatkan kesempatan karena larangan oleh klub anggota ISL membela 
Timnas. Demikian pula para pemain bertalenta jebolan SAD Uruguay, mereka
 juga tidak bisa membela merah putih. Para pemain senior dan yunior pun 
dihadapkan pada kerugian dan dilemma antara membela Merah Putih dan 
menuruti klub yang melarang mereka bermain di Timnas Indonesia. Klub 
adalah darah bagi kebutuhan hidup pemain sepakbola. Serba susah.
Dalam kondisi dilematis para pemain 
seperti ini La Nyalla pasti tertawa. Djohar Arifin juga tak bisa berbuat
 banyak karena pada kenyataannya IPL kurang bermutu dan kurang penonton.
 Sementara ISL juga tidak menunjukkan itikad baik untuk misalnya 
mengizinkan semua pemain ISL untuk masuk Timnas agar masyarakat tahu 
kualitas ISL. Niatan pamer kebajikan tidak ada dalam diri La Nyalla. 
Semua pemain sepakbola ingin membela Timnas Indonesia. Namun La Nyalla 
Cs menghalangi mereka. Para pemain ISL menjadi tak berdaya dalam situasi
 seperti itu. Mereka berubah menjadi semut. Skor: La Nyalla Raja 1 -  0 
Semut Pemain ISL.
Di tengah perseteruan itu, prestasi 
Timnas tanpa para pemain ISL yang disandera oleh klub dan pengurus juga 
terjun bebas! Yang tergambar dalam perspektif kita terciptanya Raja, 
Semut dan Sampah. Raja diwakili oleh Aburizal Bakrie yang ingin jadi 
presiden dan La Nyalla yang ingin menjadi Menteri di bawah Raja Aburizal
 Bakrie. Semut adalah para pencinta sepakbola Indonesia dan para pemain 
sepakbola Indonesia. Sampah adalah prestasi Timnas Indonesia selama 
politik kotor masuk dalam sepakbola. Bukti sampahnya prestasi adalah 
peringkat FIFA Indonesia paling rendah dalam sejarah. Ini akibat Raja 
melarang Semut membela Timnas dan akhirnya prestasinya menjadi junks 
alias Sampah!
olahraga.kompasiana.com/bola/2012/10/23/kisruh-kpsi-vs-pssi-membuahkan-raja-semut-dan-sampah-502975.html
olahraga.kompasiana.com/bola/2012/10/23/kisruh-kpsi-vs-pssi-membuahkan-raja-semut-dan-sampah-502975.html
 

 





0 komentar:
Posting Komentar